Sukriadi Shafar, S.Kom., CEH., CHFI., M.Kom
Secara terminologis agama adalah tidak kacau akan tetapi yang terjadi hari ini adalah orang-orang yang memiliki agama yang senang membuat kekacauan, hal ini terjadi karena kurangnya ilmu yang dimiliki individu dalam memecahkan suatu masalah. Pada dasarnya, ilmu merupakan segala sesuatu yang diketahui manusia. Sedangkan agama merupakan kumpulan keyakinan, kepercayaan, hukum-hukum, dan etika-etika yang bertujuan untuk menyempurnakan dan mengatur kehidupan manusia menuju kepada kebaikan di dunia dan akherat. Ilmu dapat membantu menyampaikan lebih lanjut ajaran agama kepada manusia. Sebaliknya, agama dapat membantu memberikan jawaban terhadap masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu.
Agama berhubungan dengan Tuhan, ilmu berhubungan dengan alam, agama membersihkan hati, ilmu mencerdaskan otak, agama diterima dengan iman sedang ilmu diterima dengan logika dan bersifat rasional, yaitu dapat dipahami dan diterima nalar. Jadi, bisa di katakan bahwa agama dan ilmu adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain ibarat nafas dan kehidupan, tiada kehidupan tanpa nafas demikian juga tiada nafas tanpa kehidupan keduanya mempunyai peran masing-masing , namun saling melengkapi dan saling mendukung satu dengan yang lain. Bila salah satunya tidak ada, maka tidak akan ada kehidupan.
Pada suatu wawancara, Einstein mengatakan, “Beberapa orang berpandangan bahwa agama tidak sejalan dengan kebenaran ilmiah. Saya adalah seorang periset sains, saya sangat mengetahui bahwa saat ini ilmu pengetahuan hanya dapat membuktikan keberadaan sebuah benda, tetapi tidak dapat membuktikan ketiadaan suatu benda. Oleh karena itu, jika kita masih belum dapat membuktikan keberadaan benda-benda tertentu, tidaklah dapat disimpulkan bahwa benda itu tidak ada.”
Einstein lebih lanjut memberikan contoh tentang penemuan inti atom. Dia berkata, “Sebagai contoh, bila beberapa tahun lalu, ketika kami belum dapat membuktikan keberadaan inti sebuah atom, seandainya kami dengan ceroboh menyimpulkan bahwa inti atom tidak ada, maka dalam perspektif hari ini, bukankah kami telah melakukan kesalahan yang sangat besar?” Meskipun pendekatan yang digunakan keduanya berbeda (ilmu dan agama) atau bahkan bertentangan, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu menegaskan makna dan hakekat nilai kemanusiaan dan kehidupan manusia.
Agama berhubungan dengan Tuhan, ilmu berhubungan dengan alam, agama membersihkan hati, ilmu mencerdaskan otak, agama diterima dengan iman sedang ilmu diterima dengan logika dan bersifat rasional, yaitu dapat dipahami dan diterima nalar. Jadi, bisa di katakan bahwa agama dan ilmu adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain ibarat nafas dan kehidupan, tiada kehidupan tanpa nafas demikian juga tiada nafas tanpa kehidupan keduanya mempunyai peran masing-masing , namun saling melengkapi dan saling mendukung satu dengan yang lain. Bila salah satunya tidak ada, maka tidak akan ada kehidupan.
Pada suatu wawancara, Einstein mengatakan, “Beberapa orang berpandangan bahwa agama tidak sejalan dengan kebenaran ilmiah. Saya adalah seorang periset sains, saya sangat mengetahui bahwa saat ini ilmu pengetahuan hanya dapat membuktikan keberadaan sebuah benda, tetapi tidak dapat membuktikan ketiadaan suatu benda. Oleh karena itu, jika kita masih belum dapat membuktikan keberadaan benda-benda tertentu, tidaklah dapat disimpulkan bahwa benda itu tidak ada.”
Einstein lebih lanjut memberikan contoh tentang penemuan inti atom. Dia berkata, “Sebagai contoh, bila beberapa tahun lalu, ketika kami belum dapat membuktikan keberadaan inti sebuah atom, seandainya kami dengan ceroboh menyimpulkan bahwa inti atom tidak ada, maka dalam perspektif hari ini, bukankah kami telah melakukan kesalahan yang sangat besar?” Meskipun pendekatan yang digunakan keduanya berbeda (ilmu dan agama) atau bahkan bertentangan, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu menegaskan makna dan hakekat nilai kemanusiaan dan kehidupan manusia.
KULIAH SELESAI TEPAT WAKTU |
Tepat waktu adalah suatu kebiasaan bagi setiap orang. Kamu lah yang harus mengatur waktu bukan waktu yang mengatur kamu. Jika kamu terbiasa untuk tepat waktu, sampai kapanpun kamu akan terus tepat waktu. Kedisiplinan waktu harus terus ditingkatkan. Terutama hal tepat waktu dalam menyelesaikan tugas sekolah atau tugas kuliah. Dimana semua guru atau dosen menginginkan siswa atau mahasiswanya dapat menyelesaikan tugas tepat pada waktu yang ditentukan. Kalau gak tepat waktu bisa-bisa tugasmu ditolak atau dikurangi nilainya. Berikut adalah hal yang bisa kamu lakukan agar tugas sekolah / kuliah yang kamu kerjakan selesai tepat waktu:
|
PENELITIAN DESAIN |
Seorang profesor dalam sebuah disiplin bertanya untuk membuka diskusi serius terkait dengan filosofi penelitian, apakah mengembangkan software bisa dianggap penelitian? Baginya, tidak. Banyak kolega yang ‘kebakaran jenggot’ waktu itu, meski tidak tak sehelai rambutpun terlihat di dagunya. Tidak jarang dalam beragam konferensi dan jurnal ilmiah di Indonesia kita temui artikel dengan tema ini, mengembangkan software atau sistem informasi (dalam artian artifak). Apakah melakukan desain dapat disebut penelitian?
Artikel seminal dari Hevner et al. (2004) yang dimuat MIS Quarterly memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Sejak terbit, artikel ini sudah disitasi lebih dari 3,700 kali. Tidak banyak peneliti di muka bumi ini yang mendapatkan sitasi sebanyak ini untuk sebuah artikel. Entri ini sebagian besar didasarkan pada artikel ini, yang diperkaya dengan bebarapa referensi lain. Sebelum diskusi lebih lanjut ada baiknya kita tilik beberapa filosofi yang mendasari. Desain adalah sekaligus kata kerja dan kata benda. Desain melibatkan proses dan menghasilkan artifak. Menurut March and Smith (1995), dalam desain terdapat dua proses utama: membangun (build) dan mengevaluasi (evaluate). Artifak dari proses ini beragam, mulai dari konstruk, model, metode, sampai dengan instansiasi. Artifak dibangun untuk memecahkan masalah. Kontruk dapat digunakan sebagai bahasa untuk mendefinisikan dan mengkomunikasi masalah dan solusi. Model membantu dalam memahami masalah dan solusi dan hubungan antara keduanya. Metode mendefinisikan proses yang dapat maujud dalam bentuk yang formal (seperti algoritma) dan informal (seperti deskripsi proses yang berasal dari praktik terbaik). Instansiasi menunjukkan bahwa konstruk, model, dan metode dalam diterapkan dalam dunia nyata. Kembali ke masalah dalam pembukaan entri ini. Hevner et al. (2004) dengan sangat baik membedakan antara penelitian desain (design research) dan desain rutin (routine design). Perbedaannya terletak pada masalah yang diselesaikan dan solusi yang dikembangkan. Menurut Hevner et al. (2004), desain rutin adalah aplikasi pengetahuan yang ada untuk memecahkan masalah, seperti dengan memgembangkan sistem informasi keuangan, menggunakan artifak (konstruk, model, metode, dan instansiasi) yang sudah ada. Ini bukan penelitian, dan ini juga yang sering saya jumpai pada artikel yang saya tolak. Penelitian desain berfokus pada masalah penting yang belum terselesaikan dengan cara yang unik dan inovatif atau berfokus pada masalah yang sudah terselesaikan tetapi dengan menghadirkan cara yang lebih efisien dan efektif. Yang terakhir ini memberikan kontribusi pada pengembangan pengetahuan dan metodologi. Pertanyaan selanjutnya, masalah seperti apa yang menjadi kajian penelitian desain. Berdasar studi Brook (1987; 1996) dan Rittel Webber (2984), Hevner et al. (2004) merangkumnya sebagai berikut, yang disebutnya sebagai wicked problems. Karakteristik masalah ini adalah:
Lebih lanjut, Hevner et al. (2004), memberikan tujuh petunjuk (guideline) dalam melaksanakan penelitian desain.
Untuk mengatasi masalah ini, Sein et al. (2011) menawarkan metode penelitian yang mengawinkan antara action research (Baskerville & Wood-Harper, 1998) dan design research yang disebut dengan action desain research (ADR). Dalam formulasi masalah, ADR menekankan pada adanya integrasi yang menjaga relevansi penelitian karena berangkat dari masalah riil dalam praktik (practice-inspired research) dan kesaksamaan melalui proses pengembangan artifak desain yang berdasar teori yang kuat (theory-ingrained artifact). Selain prinsip formulasi masalah tersebut, Sein et al. (2011) juga menawarkan prinsip lain termasuk yang terkait dengan pembangunan, intervensi, dan evaluasi; refleksi dan pembelajaran; serta formalisasi pembelajaran. Untuk diskusi lebih lanjut, sila lirik beberapa artikel yang diacu di atas dan dituliskan dalam referensi di bawah. Mudah-mudahan ‘debat’ tentang apakah mengembangkan software atau sistem informasi termasuk dalam penelitian atau tidak terjawab. Referensi Baskerville, R., & Wood-Harper, A. T. (1998). Diversity in information systems action research methods. European Journal of Information Systems, 7(2), 90-107. Brooks, F. P. (1987). No silver bullet: Essence and accidents of software engineering. IEEE computer, 20(4), 10-19. Brooks, F. P. (1996). The computer scientist as toolsmith II. Communications of the ACM, 39(3), 61-68. Iivari, J. (2007). A paradigmatic analysis of information systems as a design science. Scandinavian Journal of Information Systems, 19(2), 39. March, S. T., & Smith, G. F. (1995). Design and natural science research on information technology. Decision support systems, 15(4), 251-266. Sein, M. K., Henfridsson, O., Purao, S., Rossi, M., dan Lindgren, R. (2011). Action design research. MIS Quarterly, 35(1), 37-56. Yogyakarta, 17 Maret 2013 |